Tugas Etika Profesi Akuntansi
24 September 2013
Nama : Rully Andre
Kelas : 4EB18
NPM : 29210077
1. Apa
yang dimaksud dengan etika?
Pengertian Etika (
Secara Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,
Yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan
(custom). Etika biasanya berkaitan erat
Dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari
bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam
Bentuk jamaknya“Mores”, yang berarti juga adat
kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan
menghindari hal-hal tindakan yang buruk
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari
terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang berlaku.
2.
Bagaimana tahap perkembangan moral
karakteristik individu dan variable structural mempengaruhi keputusan manajer
untuk berperilaku etis dan tidak etis?
Proses perkembangan moral ada 3 tahap yaitu: tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom.
Selanjutnya Piaget melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak
seturut kerangka pemikiran Dewey: (1) tahap “pramoral”, anak belum menyadari ketertikatannya pada aturan; (2)
tahap “konvensional”, dicirikan oleh
ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap “otonom”,
bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas. Berdasarkan
pada penelitiannya, Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh
proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal
itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga
“tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas 2 “tahap”. ketiga “tingkat” itu
adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca-konvensional.
Meski anak prakonvensional
sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai
baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan) atau dari
segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang
yang baik dan yang buruk. Tingkat
ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh
tahun.
Tingkat kedua atau tingkat konvensional juga dapat digambarkan
sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada
tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan
dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat
yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan
tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan
sosial itu.
Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke
prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan,
terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya
dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau
kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk
merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat
diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada
prinsip-prinsip itu.
Tahap-tahap Moral
Pada tingkat prakonvensional kita
menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan
kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan
terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau
nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi
relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang
kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di
tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan
pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis,
timbal-balik adalah soal ”Jika anda
menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan
soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat konvensional kita
menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan
antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku
yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang
disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran
stereotip mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku
yang ’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud
baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara
berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan
ketertiban: Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan
pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas,
memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan
sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat
dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Pada tingkat pasca-konvensional
kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial
legalistis: Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar
legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari
segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan
disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas
mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu
tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa
yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah
merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan
atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan
rasional mengenai kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka
”hukum dan ketertiban” seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal,
persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur
kewajiban. Inilah moralitas ”resmi” pemerintahan Amerika Serikat dan
mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika
Universal: Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh,
universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis
(kaidah emas, kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip
universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia,
serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.
Pengertian
karakteristik individu adalah perbedaan individu dengan individu lainnya.
Sumber daya yang terpenting dalam organisasi adalah sumber daya manusia,
orang-orang yang memberikan tenaga, bakat, kreativitas, dan usaha mereka kepada
organisasi agar suatu organisasi dapat tetap eksistensinya. Setiap manusia
memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Berikut ini beberapa
pendapat mengenai pengertian karakteristik individu:
- Mathiue & Zajac, (1990) menyatakan bahwa: Karakteristik personal (individu) mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa, dan kepribadian.
- Robbins (2006) menyatakan bahwa: Faktor-faktor yang mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai mengemukakan karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi
- Siagian (2008) menyatakan bahwa, Karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja.
- Menurut Morrow menyatakan bahwa, komitmen organisasi dipengaruhi oleh karakter personal (individu) yang mencakup usia, masa kerja, pendidikan dan jenis kelamin (Prayitno, 2005).
Dari pendapat Robbins
dan Siagian di atas yang membentuk karakteristik individu dalam organisasi
meliputi: usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, dan jumlah
tanggungan.
Variabel struktural adalah
suatu struktur yang mengikat sesuatu/seseorang dengan suatu struktur itu
sendiri, dimana seseorang/sesuatu tersebut terlibat didalamnya, misalnya
seperti seorang manager yang bekerja di suatu perusahaan, dimana seorang
manager tersebut sudah pasti terikat dengan orang-orang di struktur organisasi
tempat ia bekerja tersebut.
Bagaimana ketiga hal
tersebut mempengaruhi seorang manager jelas terlihat dari deskripsi diatas
dimana tahap moral bermain penting sebagai basic
dari perilaku manager tersebut yang selanjutnya di tambahkan oleh adanya
karakteristik individu yang akan menjadi bahan essential dari perilaku manager tersebut, dan kemudian akan semakin
terlihat perilaku manager tersebut dimana ia terikat dengan sebuah variable
structural, apabila semua hal kearah yang positif tentunya perilaku manager
yang bersangkutan akan etis dan senantiasa menjunjung tinggi moralitas
Pemikiran Pribadi
3.
Apa kode etik itu dan bagaimana cara
meningkatkan keefektifannya?
kode
etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang
telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya
termasuk dalam norma sosial, namun bila
ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat
diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak professional
Cara meningkatkan
keefektifannya adalah dengan menerapkan sanksi yang tegas dan bukan hanya
teguran belaka untuk para pelanggarnya, karena jika tidak diberlakukan sanksi
yang tegas maka akan banyak pelanggar dari kode etik bahkan untuk kode etik yang terlihat paling
kompatibel untuk lingkungan tempat kode etik tersebut diberlakukan
Pemikiran Sendiri
4.
Bagaimana Manager mengambil keputusan
yang etis?
Dalam
mengambil keputusan seorang manager hendaknya memperhitungkan segala sesuatunya
dengan matang, karena sudah sangat jelas setiap keputusan yang di ambil oleh seorang
manager akan mempengaruhi banyak hal dalam sebuah perusahaan, keputusan yang
etis untuk diambil oleh seorang manager adalah keputusan yang tidak memihak
pada suatu pihak, memiliki manfaat yang berpengaruh bagi perusahaan, dan yang
terpenting sesuaikan keputusan dengan peraturan dan norma yang beredar di
masyarakat.
Sumber : Pemikiran Sendiri
5.
Jelaskan faktor-faktor yang menentukan
intensitas etika!
·
Kebutuhan Individu
Hal
ini dimisalkan dengan orang yang mencari nafkah dengan cara yang tidak halal
dengan alasan perekonomian yang tercekik
·
Tidak Ada Pedoman
Dimisalkan
seperti seseorang yang berada dalam suatu area yang tidak jelas bagaimana
peraturan ber-etikanya.
·
Perilaku dan Kebiasaan Individu
Dimisalkan
seperti seorang anak yang sedari kecil terlalu dimanja, bahkan ketika berbuat
salahpun tidak dimarahi dan tidak diberikan sanksi, pada akhirnya anak itu
menjadi orang yang tidak ber-etika
·
Lingkungan Tidak Etis
Hampir
sama dengan bagian “tidak ada pedoman” namun di tempat ini dicontohkan lebih
ekstrim dimana justru lingkungan ini sama-sekali tidak memiliki peraturan
ber-etika
·
Perilaku Orang yang Ditiru
Dimisalkan
ada seseorang yang terlalu meniru seseorang entah itu idola ataupun orang yang
berpengaruh, akan tetapi dalam penerapannya hal-hal buruk yang dilakukan orang
tersebut juga ditiru
Sumber : http://duniaetikait.wordpress.com/2012/04/28/faktor-yang-mempengaruhi-pelanggaran-etika/